Senin, 15 Juli 2013

Ludruk, kesenian asli jawa timur



Sebelum tahun 1990 begitu banyak grup ludruk yang bertebaran di jawa timur. Namun, perlahan-lahan satu per satu grup kesenian tradisional ini gulung tikar. Saat ini hanya ada beberapa gelintir ludruk yang masih bertahan dalam kondisi senen-kemis.

Menurut Prof Dr Henricus Supriyanto, pengamat ludruk, bubarnya grup-grup ludruk itu tak lepas dari masuknya televisi yang menawarkan hiburan ke rumah-rumah penduduk di kawasan pinggiran. Padahal. warga pinggiran itu dulu dikenal sebagai penonton ludruk yang setia.

"Sebelum ada televisi, orang kalau tidak nonton ludruk ya lihat wayang wong, wayang kulit, atau ketoprak," katanya.

Selain itu, menurut Henri, kebijakan Orde Baru yang represif dan antikritik membuat grup ludruk kehilangan daya tariknya. Lawakan-lawakan yang mengkritik kebijakan pemerintah dan ketimpangan sosial dilarang. Yang ada hanya kidungan tentang keberhasilan pembangunan atau pentingnya P4.

"Banyolan-banyolan ludruk sudah tidak menarik lagi. Orang jadi malas lihat ludruk," kata mantan dosen Unesa ini.

Kehilangan daya kritis ini, sambung dia, terbawa sampai sekarang. Kemampuan pelawak atau peludruk mengkritik kondisi di masyarakat seperti BBM sudah tak ada karena tidak menguasai materinya.

"Maka, pelawak ludruk hanya mampu menyajikan banyolan lawas. Banyolan seperti itu sudah sering dilihat penonton sehingga bosan dan meninggalkan ludruk," kata pria yang tekun meneliti ludruk di Jatim itu.

Pelawak memang tulang punggung sebuah grup ludruk. Begitu banyak kelompok ludruk yang gulung tikar setelah ditinggal pelawak andalannya. Ketika Basman memilih bergabung dengan Kartolo di Surabaya, Ludruk Warna Jaya Sidoarjo oleng. Ludruk Bintang Jaya juga kehilangan penggemar setelah ditinggal pelawak andalannya Momon, Agus Kuprit, dan Darmaji.

Masalahnya, tidak mudah menciptakan pelawak-pelawak baru yang berkualitas dan digemari penonton. "Lawakan harus bagus dan segar. Kalau cuma banyolan lawas thok, ya, penonton gak akan tertawa karena sudah tahu," kata Marliyah (57), pengurus grup ludruk di kawasan Balongbendo.

Meski grup ludruk di Kabupaten Sidoarjo makin sedikit, Marliyah dan kawan-kawan masih mampu menjaga eksistensi Karya Baru sampai saat ini. Grup ludruk ini kerap tampil di kawasan Balongbendo, Krian, Tarik, Prambon, hingga Mojokerto. Apa rahasia sukses Karya Baru?

Pertama, lawakan yang segar dan menghibur. Kedua, kostum, tema lawakan, maupun lakon harus diubah jika lokasi pementasan di radius lima kilometer dari lokasi pertunjukan terdahulu. Ketiga, menampilkan penri-penari cewek yang muda.

"Anak-anak itu paling kritis. Kalau lawakannya sudah pernah dilihat, mereka dengan spontan akan berteriak: banyolane pancet! Apa gak malu?" tukasnya.
Meski kondisi grup ludruk saat ini sudah jauh berbeda dengan era 1980-an,

Marliyah optimistis masih banyak warga Sidoarjo yang menggemari ludruk. Sebab, ludruk merupakan kesenian rakyat yang lahir dari masyarakat bawah yang selalu tertekan beratnya beban hidup. Ludruk membuat wong cilik bisa tertawa-tawa dan sejenak melupakan penderitaan hidupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar