Sabtu, 20 April 2013

Dalam Demokrasi, Siapapun Cenderung Jadi Buruk


Muhammad Ismail Yusanto,
Jubir H
izbut Tahrir Indonesia (HTI)
Partai Islam jadi sorotan karena partai yang selama ini mengaku sebagai partai yang bersih, petingginya ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Muncul wacana agar partai Islam mengubah jati dirinya menjadi partai sekuler dan tak lagi berasaskan Islam dengan alasan agar Islam tidak tercoreng. Sebenarnya apa akar persoalannya, asasnya atau sistem demokrasi-liberal yang berlaku di negeri ini.Lalu bagaimana dengan sistem Islam sendiri? Untuk menjawabnya wartawan Media Umat Joko Prasetyo mewawancarai juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia M Ismail Yusanto. Berikut petikannya.
Ada yang mewacanakan parpol harus dipisahkan dari agama. Karena Islam jadi ‘tercoreng’ tatkala parpol yang membawa nama Islam kadernya jadi tersangka korupsi. Tanggapan Anda?
Itu tidak tepat. Masalahnya bukan di situ. Itu terjadi karena partai Islam itu jauh dari Islam, akhirnya korupsi.
Tapi bukankah secara sistemik, demokrasi memang membuat para penyelenggaranya termasuk yang dari Parpol Islam jadi korup?
Kenyataannya ini menegaskan satu hal, bahwa di dalam sistem yang buruk, yaitu demokrasi, siapapun memang akan cenderung menjadi buruk. Hanya mereka yang berusaha keras menjaga kebersihan diri terus menerus yang bisa terhindar dari pengaruh buruk itu, meski dengan risiko terlempar dari arena atau kemudian karena terdesak ia akhirnya terpaksa terlarut juga dalam suasana yang buruk itu.
Lantas negeri yang mayoritas berpenduduk Muslim ini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus menggunakan sistem apa?
Tentu saja menggunakan sistem Islam. Tidak lain, itulah khilafah.
Namun ada yang berkilah, yang salah bukan pada sistem demokrasinya, maka harus dilakukan perbaikan pada sistem demokrasi, supaya demokrasi itu tidak mahal, tidak transaksional, supaya transparan secara keuangan sehingga tidak korup. Bagaimana tanggapan Anda?
Itu, secara teori bisa saja. Tetapi ketika suatu kewenangan membuat UU itu ada pada wakil rakyat, ketika jabatan publik itu selalu dalam periode lima tahun sekali dengan kampanye yang panjang, tidak ada ketakwaan karena itu sekulerisme, maka perbaikan-perbaikan itu menjadi sifatnya hanya instrumental belaka. Dan tetap saja demokrasi jadi biang korupsi.
Memang dalam sistem khilafah, calon kepala negara tidak mengeluarkan biaya kampanye?
Mungkin saja di dalam sistem khilafah kampanye juga memerlukan biaya, tapi oleh karena pendeknya masa kampanye, yakni hanya kurang dari tiga hari dua malam, sejak khilafah yang lama mengakhiri jabatannya, membuat biaya kampanye tentu tidak akan sebesar bila kampanye berlangsung berminggu-minggu atau  bahkan berbulan-bulan sebagaimana yang terjadi pada sistem demokrasi.
Oleh karena itu, siapapun yang menjadi calon khalifah tidak perlu harus menghimpun dana  besar yang kadang mendorongnya menghalalkan segala cara.
Ada pembatasan masa jabatan juga?
Harus diingat bahwa di dalam sistem khilafah tidak ada periodisasi baku masa jabatan khalifah, misalnya empat tahun seperti masa jabatan presiden di AS atau lima tahun seperti di Indonesia. Masa jabatan khalifah dibatasi oleh pelaksanaan hukum syara’.
Dengan cara itu, rakyat tidak harus selalu disibukkan untuk memilih pemimpinnya dalam kurun waktu tertentu yang terbukti menyita banyak sekali energi.
Lihatlah di Indonesia. Dalam waktu lima tahun diselenggarakan lebih dari 400 pemilu, baik untuk pemilu legislatif, pemilu presiden, maupun pemilihan kepala daerah (bubernur, walikota/bupati). Berapa banyak dana dan energi yang diperlukan untuk itu semua?
Maka ketika menjabat, orang yang sudah telanjur keluar biaya banyak ini akan cenderung korupsi?
Ya tentu saja. Lihatlah, di negeri ini ada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang sampai menghabiskan biaya Rp 1,3 trilyun untuk pilkada. Sedangkan anggota legislatif ada yang mengeluarkan biaya hingga Rp 6 milyar.  Bayangkan, dari mana mereka mengembalikan uang sebanyak itu?
Tentu bukan dari gaji, tapi dari berbagai usaha yang cenderung koruptif. Misalnya, jual beli ayat atau pasal dalam penyusunan peraturan perundang-undangan supaya bisa menguntungkan pihak pemilik modal. Atau memberikan keistimewaan kepada pihak pemilik modal dalam pengerjaan proyek-proyek pemerintah, lisensi dagang dan perizinan-perizinan.
Kalau dalam sistem khilafah?
Jual beli ayat atau pasal tidak mungkin dilakukan karena peraturan perundangan disusun dengan mengacu pada Alquran dan hadits, juga ijma’ dan qiyas. Jadi bukan didasarkan pada keingingan orang perorang atau kelompok.
Meski menjadi seorang khalifah tidak mengeluarkan biaya, bahkan menjadi wali dan amil hanya ditunjuk saja oleh khalifah, namun kemungkinan korupsi akan tetap ada kan?
Memang bagaimanapun khalifah (kepala negara), wali (gubernur), amil (walikota) dan seluruh pejabat dalam negara khilafah adalah manusia biasa yang bisa saja tergoda dan terdorong untuk melakukan tindak korupsi. Tapi, kalaulah itu terjadi, bisa dipastikan itu by person. Maksudnya, hanya dilakukan oleh orang perorang.Bukan by sistem, korupsi terjadi oleh karena sistem yang ada memang mendorongnya untuk korupsi seperti yang sekarang ini berjalan.
Lantas bagaimana sistem khilafah mencegah tindak korupsi by persontersebut?
Secara sistemik sistem khilafah mengatur sejumlah langkah yang harus ditempuh guna mencegah terjadinya korupsi.
Pertama,ini yang utama. Yakni diwujudkannya suasana takwa pada Allah SWT di tengah masyarakat. Dengan iman dan takwa, setiap pegawai merasa wajib untuk taat kepada aturan Allah. Masing-masing sadar akan konsekuensi dari ketaatan atau pelanggaran yang dilakukannya, karena tidak ada satu pun perbuatan di dunia yang lepas dari hisab (perhitungan) Allah.
Dengan iman dan takwa akan tercipta mekanisme pengendalian diri yang handal.Para birokrat — juga semua rakyat — akan berusaha keras mencari rizki secara halal dan memanfaatkannya hanya di jalan yang diridhai Allah SWT.
Kepada birokrat ditekankan bahwa tugas utamanya adalah melayani rakyat, dan wajib atas mereka melaksanakan amanah itu dengan jujur, adil, ikhlas dan taat kepada aturan negara yakni syariah Islam.
Kedua?
Sistem penggajian yang layak. Rasulullah SAW sendiri menyadari, sistem Islam tidak akan berjalan baik bila para pelaksananya berkepribadian rusak. Dan itu biasanya bermula dari gaji yang tidak mencukupi.
Para birokrat bagaimana pun adalah juga manusia biasa yang mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban memberi nafkah keluarganya. Agar dapat bekerja dengan tenang dan tidak tergoda untuk berbuat curang, kepada mereka diberikan gaji yang layak serta tunjangan hidup lain.
Ketiga, teladan dari pemimpin. Dengan teladan dari pemimpin, tindak penyimpangan akan terdeteksi secara dini. Penyidikan dan penindakan tidak sulit dilakukan. Tapi apa jadinya bila justru pemimpin itu yang melakukan korupsi dan melindungi korupsi yang dilakukan bawahannya? Semua upaya apa pun menjadi tidak ada artinya sama sekali.
Ada yang berikutnya?
Pembuktian terbalik. Untuk  menjaga dari berbuat curang, dihitung kekayaan seseorang di awal jabatannya sebagai pejabat negara, kemudian dihitung ulang di akhir jabatan. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, yang bersangkutan harus menjelaskan dari mana harta itu diperoleh. Bila didapat dari cara curang, kelebihannya itu harus diserahkan kepada Baitui Mal.
Kelima, hukuman setimpal. Dalam Islam tindak korupsi termasuk jarimah(kejahatan) yang akan terkenai ta’zir. Menurut Abdurrahman Maliky dalam kitabNidzamu al-’Uqubat, bentuknya bisa berupa hukuman tasyh’ir (berupa pewartaan), hukuman penjara bahkan sampai hukuman mati.
Ada keunggulan lain, yang tidak mungkin didapat selain dengan khilafah?
Ada. Karena sistem hukum Islam selain berfungsi sebagai zawajirun atas tindak kriminalitas sekaligus sebagai penebus (jawabirun) atas tindakan jahat yang telah dilakukan oleh si pelaku. Sanksi yang dijatuhkan di dunia bisa menghilangkan sanksi yang ada di akhirat. Ini yang tidak ada dalam sistem lain.

Sumber